Banyaknya tindakan sebelah pihak yang dilakukan
management Perum Damri kepada para karyawannya, sungguh merupakan suatu
tindakan dengan istilah Asal Bapak Senang (ABS). Semua tindakan dan perlakuan
kepada karyawan tidak sesuai dengan aturan ketenaga kerjaan yang berazaskan
Pancasila.
Karyawan Perum Damri yang telah mendapat Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) Bukan Atas Permintaan Sendiri, diantaranya Deni Kurnia
(42) dan Tono Kartono (52), alasan mereka mendapat sanksi dikarenakan mereka
sakit.
Tono Kartono yang pada waktu masih bekerja sebagai
Supir & Kondektur, mulai bekerja sekitar tahun 1986-2000 di Cirebon, ia
diminta mengundurkan diri oleh pejabat setempat, dikarenakan ia sakit dengan
pesangon Rp.1.700.000,- (Satu Juta Tujuh Ratus Rupiah) dengan masa kerja 14
tahun. Dengan polosnya Tono menerima dan menandatangani keputusan perusahaan,
meski sebenarnya ia tidak setuju dan merasa keberatan. Namun pihak management
tak memberi kesempatan apapun. Akhirnya Tono cuma bisa pasrah.
Awal tahun 2005-2015, Tono bekerja lagi di Perum Damri
Bandung sebagai pengemudi tanpa status sebagai karyawan dan tanpa gaji. Sungguh
suatu kebijakan yang tak punya aturan dam tidak berperikemanusiaan sebagaimana
sebuah perusahaan BUMN.
Deni dan Tono merupakan bagian kecil korban atas
kesewenang-wenangan pihak management Perum Damri. Sebagian besar lainnya,
adalah “sembelit’ dalam tubuh Damri yang sejak dulu hingga saat ini masih
terjadi.
Semestinya, dalam menyelesaikan persoalan mengenai PHK,
kebijaksanaan yang seharusnya dipakai adalah apabila karyawan melanggar hukum
atau merugikan perusahaan, melakukan kesalahan yang dianggap besar, menolak
perintah yang layak walau sudah diberi peringatan, melalaikan kewajibannya
secara serampangan, dan tidak cakap dalam bekerja meski sudah dicoba
dimana-mana.
Jika karyawan dianggap melakukan kesalahan besar, maka
ia akan diberi hukuman PHK tanpa pesangon dan uang jasa.
Apabila kesalahan-kesalahan telah diberikan peringatan terakhir yang
bersangkutan masih melakukan kesalahan, maka kepadanya dapat diberi hukuman PHK
dengan pemberian pesangon saja. Sedang dalam hal kesalahan untuk mana diberikan
peringatan dan yang bersangkutan tidak menghiraukannya, maka kepadanya dapat
diberi hukuman PHK biasa, yang mana ia mendapat pesangon menurut pemberhentian
bias
Beberapa waktu lalu, Deni dan Tono yang didampingi
Sekretaris FKPDB, Djaka Suherman beserta kami mendatangi Cabang Damri Cakung,
Jakarta Timur. Kami berusaha untuk konfirmasi permasalahan yang terjadi atas
Deni Kurnia. Namun, pihak Kabag Personalia yang kami datangi, Anna, tidak mau
memberikan keterangan apapun dengan alasan tidak tahu menahu masalahnya, karena
sebelumnya yang menduduki kursi yang dijabatnya sekarang, bukan dia,
arsipnyapun dia tidak tahu. Padahal, saat hanya Djaka dan Deni yang menemuinya
terlebih dahulu, Anna sudah menawarkan uang pesangon untuk Deni yang jumlahnya
l.k. Rp.3.000.000,-. Sungguh suatu hal yang penuh tanda tanya, satu sisi dia
tahu permasalahannya, satu sisi dia mengelak untuk memberikan keterangan dengan
alasan tidak tahu dan menurutnya, semua berkas sudah dilimpahkan ke Disnaker.
Jadi..... “tidak tahu atau pura-pura ga tahu?”.......... Suatu kejanggalan yang
mungkin terjadi dikarenakan “sayang jabatan” tanpa mengindahkan sisi
kemanusiaan.(Red)