Bandung-Media Bangsa.
Bencana adalah kejadian luar biasa yang tidak bisa diprediksi oleh siapapun. Bencana datang tiba-tiba, dia
terjadi di manapun, kapanpun dan menimpa siapapun. Bencana merupakan peristiwa yang sangat menakutkan. Ketika sudah terjadi maka siapapun tidak
dapat menghindarinya. Mereka harus menerima apa adanya, tidak peduli kehilangan
harta benda atau bahkan nyawa sekalipun. Sungguh mengerikan jika bencana
menghampiri ranah kehidupan kita.
Sering
kita terkaget-kaget setelah melihat atau bahkan merasakan terjadinya bencana,
baik itu bencana longsor, gempa bumi, gunung meletus, banjir dan tsunami juga
kebakaran. Kesemuanya merupakan bencana alam yang mengancam keselematan manusia.
Dari
sekian banyak penyikapan terhadap bencana, maka yang paling utama adalah
menejemen dari bencana itu sendiri, baik manajemen perorangan maupun kelompok.
Masalah ini kelihatannya sederhana, namun memerlukan penanganan yang profesional,
sebab jika tidak, justru malah menimbulkan masalah baru dan bukan penyelesaian
yang diharapkan.
Sederet
prseos penanganan bencana perlu disusun, mulai dari regulasi, hingga masalah
teknis, dan hal itu perlu terus ditingkatkan baik kualitas maupun
kuantitasnya. Penanganan bencana bukan
sesuatu yang statis melainkan dinamis, sesuai dengan kadar perkembangan
persitiwa bencana itu sendiri.
Jika
menilik amanat Undang – undang Dasar 1945 Pasal 28 (g) menegaskan, ‘setiap
orang berhak atas pelindungan diri pribadi, keluarga dan harta bendanya serta
berhak rasa aman dan perlindungan dari rasa aman dan perlindungan ancaman
ketakutan untuk berbuat sesuatu’ maka
pemerintah berkewajiban melindungi rakyatnya dari bahaya bencana yang menimpa. Hal
itu diperkuat denga terbitnya Undang-undang
Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dan PP Nomor 21 tahun 2008
tentang penyelenggaraan penanganan bencana. Di Jawa Barat sendiri telah dibuat
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana ; pasal 115 ayat (1) butir g. Sederet
perangkat regulasi tersebut, mengharuskan pemeritah untuk melakukan daya dan
upaya penanggulangan bencana, baik membentuk kelembagaannya maunpun teknis pelaksanaannya.
Jawa
Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang tergolong memiliki kadar
terjadinya bencana yang tinggi. Banyak bercokolnya gunung berapi di Jawa Barat
serta kontur tanahnya berbukit, membuat Jawa Barat tidak lepas dari ancaman
bencana. Selain itu, sebagian daratan Jawa Barat merupakan cekungan dan kawasan
hilir (dataran rendah) yang menjadi titik rawan terjadinya banjir, Di sinilah
urgensi perlunya peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa
Barat.
Menurut
Kepala Bidang Penanggulangan Bencana BPBD Jabar, Dadang Ronda, jajarannya terus
melakukan terobosan dalam meningkatkan peran dan fungsinya. Hal yang dilakukan
adalah terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan melalui berbagai program
strategis. Termasuk belum lama ini diluncurkan konsep pemberdayaan masyarakat dalam
pengurangan resiko bencana di Jawa Barat.
Dikatakan,
Jawa Barat memiliki potensi gempa bumi yang paling tinggi di banding dengan
provinsi lainnya di Indonesia dengan
kejadian gempa yang merusak. Data Badan Meteorologi dan Gio Fisika (BMG)
menyebutkan sejak 18-18 -2009 di Jawa
Barat terjadi 34 kali gempa bumi , Jateng 25 kali, Jatim 22 kali, Jogyakarta 5
kali kejadian Tsunami 2 kali [2006,
2009]. Disebutkan pula, gempa di laut Jawa Barat sebagian besar di lempeng Eurasia seperti terjadi
pada 1979 berkekuatan 5-6 SR, 1980
berkekuatan 5-6 SR, tahun 2006 berkekuatan 7,4 SR dan pada tahun 2007 sebesar
6,5 SR, serta terakhir pada tahun 2009 berkekuatan 7,4 SR.
Potensi gempa di darat Jawa Barat,
sebut Dadang Ronda berpotensi di daerah patahan/sesar aktif seperti sesar
Cimandiri di Pelabuanratu, Baribis di
Majalengka, Lembang di Bandung Barat, wilayah Kuningan; wilayah Garut; sesar
Gn. Halu Kab. Bandung Barat; sesar Cianjur.
Disebutkan
pelaksanaan penanggulangan bencana berorientasi kepada pemberdayaan dan kemandirian melalui
partisipasi masyarakat yang mengarah kepada pengurangan resiko bencana bersama
masyarakat di kawasan rawan bencana secara mandiri. Menghindari munculnya
kerawanan baru dan ketergantungan masyarakat di kawasan rawan bencana kepada
pihak luar. Pengurangan resiko
bencana merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembangunan dan
pengelolaan sumber daya alam untuk kelangsungan kehidupan di kawasan rawan
bencana. Tidak kalah pentingnya, pendekatan multi sector, multi disiplin, dan
multi budaya menjadi trens saat ini dalam penanggulangan bencana“Pendeknya
tidak perlu ada tangisan kalau ada persiapan, “ kata Dadang Ronda.
Dari berbagai program yang
dirancang dan dilaksanakan BPBD Jabar diakui Dadang Ronda, akibat masih
dihadapinya permasalahan yang berpotensi menjadi kendala. Diantaranya, masih banyak dijumpai pemukiman
dan aktivitas penduduk di Zona kerentanan gerakan tanah menengah hingga tinggi
dan di alur lembah. Kejadian gerakan tanah hampir
sepanjang tahun, mengikuti pola curah hujan yang berubah akibat dari Pemanasan
Global dan Perubahan Iklim. Masih belum
optimal penataan ruang berbasis mitigasi bencana, karena faktor ekonomi, masyarakat
tidak mempunyai pilihan tinggal di daerah aman terhadap
ancaman bahaya gerakan tanah.
Terkait
dengan tujuan program pemberdayaan masyarakat dalam penggulangan bencana ,
Dadang Ronda mengatakan bertujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
tanggungjawab masyarakat dalam penanggulangan bencana; memahami karakteristik
bencana di daerahnya, mampu menyusun dan melaksanakan rencana aksi dalam
pengurangan resiko bencana; melaksanakan musyawarah penetapan zona aman/tempat
pengungsian sementara; serta memahami perannya
sebagai ‘First Responder’ [pelaku utama] di daerahnya. (MPH/Rony)